Hidroponik Tenaga Surya
Menghemat listrik berarti menurunkan 20% ongkos produksi sayuran hidroponik.
Sekilas tidak ada yang spesial di kebun hidroponik milik Muhammad Iqbal. Terdapat 3 unit hidroponik berangka bambu berukuran 4 m x 22 m (2 buah) dan 4 m x 10 m (1 buah). Unit pertama berisi 18 pipa berbahan polivinil klorida (PVC) sepanjang 22 m dan berdiamater 1,5 inci. Setiap pipa terdiri atas 160 lubang tanam. Total jenderal terdapat 2.880 lubang tanam di kebun yang berlokasi di Sleman, Yogyakarta itu.
Iqbal menggunakan sistem nutrient film technique (NFT) untuk membudidayakan beragam sayuran. Artinya ia mengalirkan nutrisi setipis lapisan film untuk memenuhi hara tanaman. Kebun itu menjadi istimewa ketika listrik padam. Saat aliran listrik terputus pompa yang mengalirkan nutrisi pun berhenti bekerja. Dampaknya sayuran bisa kering jika listrik padam 1 jam.
Cahaya matahari
Untuk menyiasati itu pekebun bermodal besar menggunakan generator set (genset) agar pompa berfungsi normal. Pasokan nutrisi di kebun Iqbal tetap berlangsung meski listrik padam. Padahal ia tidak menyediakan genset untuk menghadapi pemadaman listrik. Lalu bagaimana cara Iqbal mengalirkan nutrisi ketika listrik padam? “Saya memanfaatkan sinar matahari untuk mengoperasikan pompa,” kata pria kelahiran Yogyakarta itu.
Intinya Iqbal tidak mengandalkan pasokan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN). Jadi listrik padam atau pun tidak bukan masalah bagi Iqbal. Penempatan panel surya di atas unit hidroponik agar terpapar sinar matahari. Satu unit panel surya terdiri dari beberapa alat seperti lempengan panel, kontroler, aki, dan pompa. Ia memanfaatkan tiga lempengan panel berukuran 50 cm x 50 cm (3 unit)dan 38 cm x 38 cm (4 unit) untuk mengubah cahaya matahari menjadi energi listrik.
Kontroler berfungsi menstabilkan arus masuk. Aki berperan menyimpan kelebihan energi. Sementara pompa bertugas mengalirkan nutrisi. Panel surya itu berkapasitas 100 watt dengan aki berkapasitas 35 ampere. Iqbal menggunakan pompa berdaya 38 watt dan mengalirkan 70 l nutrisi per jam. Pompa mesti berarus listrik direct current (DC). Jika menggunakan pompa berarus listrik alternating current (AC) maka jika listrik padam pompa berhenti bekerja sehingga harus menggunakan genset.
Iqbal menyetel otomatis agar pompa bekerja pukul 06.00—18.00. Saat malam pompa berhenti. Lebih lanjut Iqbal mengatakan hidroponik sistem NFT bergantung 100% pada listrik. Iqbal tidak asal bicara. Pada 2011—2014 ia menjadi manajer kebun hidroponik di Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Saban bulan ia membayar Rp5-juta untuk tagihan listrik.
Jika listrik padam, ia menyalakan 3 genset berkapasitas masing-masing 5.500 watt. Sebab, jika pompa mati berarti aliran nutrisi terganggu. Dampaknya pertumbuhan tanaman terhambat bahkan mati. Penggunaan panel surya mengurangi ketergantungan petani terhadap pasokan listrik negara. “Perangkat tenaga surya menghemat 20% ongkos produksi karena mengurangi penggunaan listrik,” kata alumnus Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Stiper Yogyakarta itu.
Lebih untung
Kini Iqbal hanya membayar Rp70.000 sebulan untuk biaya listrik di kebun dan penerangan di rumah. Sebelumnya ia membayar Rp200.000 per bulan. Artinya terdapat penghematan 65%. Saban hari Iqbal lazim memanen 10 kg selada dengan ongkos produksi Rp6.000—Rp6.500 per kg. “Tanpa panel surya ongkos produksi mencapai Rp7.200—Rp7.800 per kg,” kata pria berumur 44 tahun itu.
Dengan kata lain Iqbal menghemat 20% ongkos produksi. Ia menjual sayuran hidroponik seharga Rp15.000—Rp20.000 per kg. Konsumen Iqbal 3 rumah makan di Prawirotaman, Yogyakarta. Jadi, ia mendapat omzet Rp4,5-juta—Rp6-juta tiap bulan. Setelah dikurangi ongkos produksi ia meraih laba minimal Rp2,7-juta. Menurut Iqbal hidroponik tenaga surya cocok diterapkan di daerah yang rawan terdampak pemadaman listrik.
Model hidroponik itu juga cocok bagi pehobi yang sering bepergian. Pekebun tidak perlu khawatir pompa mati karena listrik padam. Selain menggunakan sendiri, Iqbal pun mulai merancang unit hidroponik mini bertenaga surya sejak pertengahan 2014. Kit hidroponik itu bersistem NFT dengan 25 lubang tanam dijual seharga Rp1,5-juta per unit. Hingga November 2015 Iqbal menjual 20 unit ke berbagai daerah di Indonesia seperti Yogyakarta, Pekanbaru, Samarinda, dan Wamena.
“Kebanyakan pembeli dari kalangan pehobi,” kata pria yang mengenal hidroponik sejak 2011 itu. Salah satu konsumen yang membeli kit hidroponik kreasi Iqbal yakni Wahyu Asih Widodo. Wahyu tertarik membeli karena instalasi hidroponik rancangan Iqbal sederhana dan perawatan mudah. Ia menanam aneka sayuran seperti selada, caisim dan pakcoy. “Saya sudah 4 kali panen sejak Agustus 2015. Hasil panen untuk memenuhi keperluan anggota keluarga,” kata pehobi hidroponik di Trenggalek, Jawa Timur, itu.
Perkenalan Iqbal dengan teknologi panel surya bermula pada 2012. Saat itu ia mulai menjalin komunikasi dengan Hakam Wibowo, kawan semasa sekolah menengah atas (SMA). Hakam akrab dengan panel surya sejak 2010 ketika mengerjakan proyek di Balige, Sumatera Utara. “Di daerah itu 8 kali listrik padam dalam sehari. Dalam sebulan ada 20 hari yang mengalami pemadaman,” kata arsitek alumnus Universitas Gadjah Mada itu.
Pemadaman listrik menghambat pekerjaan harian Hakam seperti memotong besi atau mengirim surat elektronik. Ia lalu mencari solusi dan memilih panel surya. Setelah itu ia tidak lagi bergantung pada listrik PLN. Pada 2012 ia memperkenalkan panel surya kepada Iqbal. Jadilah kedua sahabat itu berkolaborasi menciptakan hidroponik bertenaga surya.
Menyebar
Berjarak 12 km dari kebun Iqbal, Andriyan Fatchurohman juga mendayagunakan sinar matahari untuk menghidupkan pompa pada kit hidroponik. Andriyan merancang sendiri instalasi hidroponik dan panel surya bersistem drip irrigation. Ia memanfaatkan botol bekas air mineral bervolume 1,5 liter sebagai wadah tanaman. Andriyan menyusun 4 botol secara vertikal sebanyak 10 susun ke samping. Total jenderal terdapat 40 botol dalam satu rangkaian.
Andriyan menggunakan panel surya berukuran 28 cm x 28 cm yang menghasilkan listrik 10 watt. Pompa yang digunakan berdaya 2—3 watt. Keunikan rangkaian ala Andriyan dengan botol bekas menarik minat tetangga. Sejak Agustus 2015 terdapat 2—3 tetangga yang berhasrat memiliki rangkaian hidroponik itu. “Seorang kawan juga meminta dipasangi panel surya pada akuaponik miliknya,” kata pria yang mengenal hidroponik sejak Juli 2015 itu.
Praktikus hidroponik di Bulaksumur, Yogyakarta, Sapto Prayitno SP, mengatakan penggunaan panel surya pada sistem hidroponik bukan barang baru. “Masih sedikit yang menggunakan karena harga relatif tinggi,” kata Sapto. Ia mengatakan hidroponik bertenaga surya cocok untuk daerah yang belum atau sulit mengakses listrik. Belum ada riset yang menunjukkan efektivitas sinar matahari untuk menggerakkan pompa pada sistem hidroponik.
Namun penelitian tentang penggunaan sinar matahari untuk menggerakkan pompa pada sistem akuaponik pernah dilakukan. Peneliti riset itu adalah Ratna Ika P ST MT dan M Rifa’i dari Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Malang. Hasil penelitian pada 2012 itu menunjukkan pemanfaatan energi matahari menggunakan fotovoltaik sebagai sumber energi listrik dapat bekerja dengan baik. Sistem fotovoltaik (PV) merupakan peralatan yang mengonversi energi surya menjadi energi listrik.
Ratna dalam Jurnal ELTEK menyatakan sistem fotovoltaik memiliki beberapa keuntungan. Kelebihan sistem itu yakni tidak menimbulkan polusi, ramah lingkungan, biaya perawatan rendah, dan ketersediaan cahaya matahari yang tidak terbatas. Data Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyebutkan potensi energi surya di Indonesia sangat besar yakni sekitar 4.8 KWh/m2 atau setara 112.000 GWp.
Hambatan
Potensi besar itu belum termanfaatkan. Yang sudah dimanfaatkan baru sekitar 10 MWp. Selain memiliki beragam kelebihan, sistem fotovoltaik juga mempunyai kelemahan yaitu biaya instalasi relatif tinggi. Iqbal merogoh kocek Rp4-juta untuk membuat 1 modul hidroponik berisi lempengan panel berukuran berkapasitas 100 watt. Lebih lanjut ia mengatakan investasi modul tenaga surya terbayar setelah 1 tahun penggunaan.
Kelemahan sistem fotovoltaik yang lain menurut Ratna yakni konversi energi yang rendah sekitar 25%. Artinya jika pekebun menggunakan panel surya berkapasitas 20 watt, maka energi yang didapat hanya 5 watt. Pemicu rendahnya konversi antara lain perubahan intensitas sinar matahari, suhu operasi, dan arus beban. Solusinya menggunakan Maximum Power Point Tracker (MPPT) agar penyerapan sinar matahari maksimal. Sayangnya, “Harga MPPT mahal sekitar Rp2-juta—Rp3-juta per unit,” kata Andriyan. Pemanfataan energi matahari membuat kegiatan berhidroponik semakin ramah lingkungan. (Riefza Vebriansyah)