-->

Ads

Air Baku Hidroponik Sebagai Media Distribusi Nutrisi

Air Baku Hidroponik Sebagai Media Distribusi Nutrisi


Air ialah komponen vital dalam teknik Hidroponik. Air dibutuhkan sebagai pelarut sekaligus media distribusi nutrisi.


Karena tujuan Hidroponik merupakan menyediakan nutrisi dalam jumlah dan dosis layak kebutuhan tanaman, karenanya wajib air sebagai pelarut gizi tak boleh mengandung material yang bisa mengganggu rasio maupun kadar elemen hara yang terkandung dalam gizi, ataupun mengandung patogen yang dapat mengganggu pertumbuhan tanaman.


Berdasarkan beberapa literatur yang sempat saya intip, secara lazim mutu air dibedakan menjadi dua golongan, yaitu kelompoh “Hard Water” dan kelompok “Soft Water”.



“Hard water” yaitu air dengan kandungan mineral tinggi, kebanyakan terdiri dari Magnesium, Kalcium Karbonat, Bikarbonat, atau Kalsium Sulfat. Secara kasat mata “Hard Water” dapat ditengarai pada endapan putih yang menempel di permukaan benda yang dicuci mengaplikasikan “Hard Water”. Air jenis ini bersifat alkali, dan memiliki pH tinggi.


Ca dan Mg sebetulnya yakni mineral yang diperlukan oleh tanaman,  tetapi absensi dua unsur itu dalam kadar tinggi justru punya potensi mengganggu rasio larutan gizi yang telah diatur sebelumnya. Dampak selanjutnya, bisa mengganggu kelancaran progres peresapan ion lain.


“Soft Water” merupakan kualitas air dengan kandungan mineral rendah, namun di banyak daerah seringkali susah didapat secara natural.


Air baku yang diperlukan oleh Hidroponik bukan sekadar “Soft Water”, tapi masih terdapat sebagian prasyarat lain yang mesti dipenuhi, diantaranya, sesudah menjadi larutan nutrisi  jangka pHnya berkisar antara 5,5 hingga 6,5; dan temperatur larutan berkisar antara 18 hingga 26 derajad celcius. 


Lalu bagaimana kalau air di sekitar kita TDSnya lebih dari 150 ppm, dengan pH di atas 7? Mestinya patut diolah terutamanya dulu supaya kualitasnya sesuai standard Hidroponik.


Masalahnya, tidak segala praktisi, terutama pemula variasi aku, sanggup menyediakan perangkat pengolah air.


Dengan TDS air baku paling rendah 213 ppm, kadang 280 dan pernah beberapa kali sampai 330 ppm, temperatur selalu lebih dari 28 derajad, dan sesudah menjadi larutan gizi, pHnya tak pernah kurang dari 7,3, aku tidak punya alternatif lain selain nekad.


Hingga 3 kali panen, ternyata hasil kebon aku selalu lebih bagus dibanding sayuran konvensional yang saya beli di supermarket. Lebih segar, lebih renyah dan tak kencang layu meskipun tidak disimpan di lemari pendingin.


Keadaan baru muncul setelah masuk musim kemarau. Tanaman mudah layu, warna akar berubah menjadi coklat, dan terjadi endapan di dasar gully. Hingga 6 bulan berikutnya situasi menjadi kian buruk, malah hasilnya saya sempat berhenti menanam di instalasi gully.


Tapi aku mendapati keadaan berbeda pada tanaman yang tumbuh di box sterofoam. Tak ada endapan di dasar box, akar tetap putih bersih dan tanaman cuma layu ketika temperatur udara di bawah naungan lebh dari 40 derajad, lalu menjadi segar kembali setelah temperatur turun.


Karena memakai merek gizi dan mutu air baku sama, saya dengan gampang bisa menebak bahwa perbedaan keadaan itu disebabkan oleh perbedaan temperatur larutan gizi. Suhu di gully berkisar antara 30 hingga 34 derajad, sementara di box paling tinggi cuma 27 derajad.


Berdasar pengalaman itu, dan hasil berbagi pengalaman dengan praktisi lain, saya berani mengambil ikhtisar, untuk Hidroponik skala hobby dan rumahtangga, air dengan TDS tinggi dalam keadaan tertentu masih dapat diterapkan sebagai air baku Hidroponik tanpa harus diolah khususnya dulu.


Apabila suhu lingkungan cukup tinggi, gunakan modul dengan bahan isolator panas seperti sterofoam. Atau, sekiranya tak ada, usahakan agar nutrisi mengalir, dan setiapkali selesai panen modul dibersihkan.


http://hidroponiktjakdoel.blogspot.com/2016/01/air-baku.html

LihatTutupKomentar